Drs. Mulyo Wiharto, MHA.
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Esa Unggul
Etika adalah ilmu tentang baik dan buruk
serta tentang kewajiban dan hak. Etika dapat diartikan sebagai kumpulan
azas atau nilai yang berkenaan dengan ahlak. Etika adalah nilai benar
dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika terdiri dari
etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif menggam-barkan
tingkah laku manusia apa adanya, sedangkan etika normatif menilai
tingkah laku tersebut. Etika secara sistematis dibedakan atas etika umum
dan etika khusus. Etika umum melahirkan teori, sedangkan etika khusus
melahirkan etika individual dan etika sosial. Etika umum ”lebih”
bersifat deskriptif, sedangkan etika khusus ”lebih” bersifat normatif.
Sifat deskriptif etika umum terlihat dari paparan filosof tertentu pada
ajaran, doktrin atau teorinya. Sifat normatif etika khusus terlihat,
misal-nya pada etika profesi.
Pemahaman seseorang mengenai etika
sering-kali kurang tepat. Ada yang mengartikan etika seba-gai tentang
apa yang yang baik dan apa yang buruk, tapi banyak pula yang mengartikan
etika sebagai nilai mengenai benar dan salah. Ada pula yang mengartikan
etika sebagai kumpulan nilai-nilai yang berkenaan dengan ahlak.
Pemahaman yang demikian disebabkan oleh karakteristik etika yang
bersifat deskriptif dan nor-matif, sehingga dinamakan sebagai etika
des-kriptif dan etika normatif. Etika deskriptif membe-rikan gambaran
mengenai suatu norma tanpa mem-berikan penilaian, sedangkan etika
normatif mem-berikan penilaian terhadap norma yang berlaku, tidak
sekedar menggambarkan norma-norma terse-but.
Etika Jawa misalnya, seringkali
digambar-kan sebagai serangkaian norma yang berlaku dalam masyarakat
Jawa. Norma tingkah laku yang berlaku dikalangan masyarakat Jawa
seringkali dipandang sebagai nilai-nilai yang dikagumi oleh masyarakat
jawa, namun oleh masyarakat selain Jawa belum tentu demikian. Etika
bersifat normatif, menilai tingkah laku seseorang atau sekelompok
masya-rakat, apakah memang demikian? Penilaian tentang norma-norma
tingkah laku tentunya bermuara kepada suatu tujuan. Apakah tujuan yang
dimaksud?
Secara sistematis, etika terbagi atas
etika umum dan etika khusus. Etika umum berbentuk teori, sedangkan etika
khusus yang terdiri dari etika individual dan etika sosial. Salah satu
bentuk etika khusus adalah etika profesi. Etika umum ”lebih” bersifat
deskriptif, sedangkan etika profesi ”lebih” bersifat normatif.
Etika umum melahirkan berbagai ragam
etika yang berhubungan dengan ajaran-ajaran atau doktrin yang dicetuskan
oleh para filosof. Etika khusus, terutama etika sosial menghasilkan
berbagai etika, seperti etika keluarga, etika bisnis, etika pro-fesi dan
sebagainya.
Etika profesi mempunyai dinamika
tersen-diri yang berbeda dibandingkan dengan bentuk etika-etika sosial
lainnya. Dalam kehidupan beror-ganisasi atau menjalankan profesinya,
seorang indi-vidu atau kelompok seringkali dihadapkan pada permasalahan
yang menyangkut etika manajemen. Bagaimanakah seharusnya seorang manajer
menam-pilkan tingkah lakunya dalam kehidupan beror-ganisasi? Apakah
seorang manajer sudah menjalan-kan perannya sesuai etika manajemen ?
Untuk memberikan pemahaman yang tepat,
maka perlu dilakukan penelaahan yang lebih men-dalam tentang hakekat
etika, baik yang bersifat nor-matif maupun yang bersifat deskriptif,
termasuk tujuan sebuah etika dan etika yang berlaku sebagai etika
profesi. Penelaahan dilakukan dengan studi literatur dan dikaitkan
dengan berbagai fenomena yang ditemui dalam kehidupan empiris.
Etika menganalisis makna yang dikandung
dalam predikat kesusilaan dan menyelidiki peng-gunaan predikat dalam
kehidupan sehari-hari. Dari sini lahirlah apa yang disebut sebagai
etika deskrip-tif
Etika deskriptif menggambarkan suatu
obyek secara cermat mengenai segala yang bersang-kutan dengan
bermacam-macam predikat dan tanggapan, terutama predikat dan tanggapan
kesusi-laan yang telah diterima dan digunakan dalam masyarakat.
Etika Jawa digambarkan sebagai norma
yang dianut dalam masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Jogjakarta dan Jawa Timur. Masyarakat Jawa Barat lebih mengenal
etika Sunda dibanding etika jawa, walaupun masih ter-letak di daerah
Jawa.
Salah satu etika Jawa adalah etika perka-winan yang banyak menggunakan
ritual adat Jawa yang digambarkan dalam acara panggih. Panggih merupakan
acara yang dijalankan sebelum kedua mempelai dipersandingkan di
pelaminan. Acara panggih dilaksanakan setelah mempelai laki-laki tiba di
kediaman atau tempat perhelatan perkawinan dan disambut oleh mempelai
perempuan.
Acara panggih diawali dengan pertemuan
kedua mempelai yang diiringi alhnan musik kebogiro. Dalam pertemuan
pertama, kedua mem-pelai saling melempar daun sirih yang dilipat
sedemikian rupa kepada pasangannya dalam acara balang sirih. Ritual ini
menggambarkan asal mula kedua mempelai bertemu dengan saling melempar
kasih. Daun sirih yang bentuknya seperti lambang cinta dilambangkan
sebagai hati masing-masing kedua mempelai. Keduanya saling melempar
sirih, saling melempar lambang hati atau saling melempar cinta.
Pertemuan mereka adalah kehendak hati masing-masing, tidak dipertemukan
berdasarkan paksaan pihak lain.
Kedua mempelai akan dibimbing oleh kedua
orang tua memasuki rumah atau tempat per-helatan. Keduanye dibimbing
dengan menggunakan kain selendang untuk mengikuti prosesi selanjutnya,
yakni acara menginjak telur.
Acara menginjak telur dilakukan oleh
mempelai laki-laki, kemudian kedua kaki mempelai laki-laki tersebut
dibasuh oleh mempelai perem-puan. Ritual ini menggambarkan kesiapan
mempe-lai laki-laki untuk membuahi mempelai perempuan untuk melanjutkan
keturunan dengan simbol meme-cahkan telur. Mempelai perempuan
digambarkan kesiapannya untuk merawat buah perkawinan dengan mengurus
dan memelihara keturunan yang diberikan oleh mempelai laki-laki.
Kedua mempelai terus didampingi oleh
kedua orang tua mempelai perempuan menuju ke tempat pelaminan dipeluk
dengan sehelai selen-dang. Ritual ini melambangkan adanya pendam-pingan
kedua orang tua mempelai untuk menempati rumah tangga yang baru yang
dilambangkan dalam bentuk pelaminan.
Di pelaminan kedua mempelai melakukan
acara pangkon, kacar-kucur, suap-suapan dan seba-gainya. Pangkon artinya
kedua mempelai berpang-kuan, mempelai laki-laki memangku mempelai
perempuan. Pangkon menggambarkan peran seo-rang suami untuk memangku
tanggung jawab terhadap istri dan keluarganya.
Dalam acara kacar-kucur, mempelai
laki-laki mengucurkan sekantung beras ke dalam kan-tung beras yang
dipegang mempelai perempuan. Kacar-kucur merupakan gambaran kewajiban
mem-pelai laki-laki untuk memberikan nafkah kepada istri dan keluarga.
Suap-suapan adalah saling suap kedua
mempelai yang menggambarkan keharusan saling memberi dan menerima antara
kedua mempelai. Suami memberi kepada istri dan menerima dari sang
istri. Sang istri pun memberi kepada suami, tidak hanya menerima dari
sang suami.
Etika deskriptif melukiskan segala
sesuatu secara secara netral dan tidak memberikan peni-laian. Etika
deskriptif hanya memberikan gambaran apa adanya, berikut makna-makna
yang terkandung dalam setiap perbuatan dan tidak memberikan peni-laian.
Etika tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga normatif. Etika tidak
terbatas pada pemantauan terhadap moralitas, tetapi melakukan juga
penilaian dengan refleksi kritis, metodis dan sistematis ten-tang
tingkah laku manusia berkaitan dengan norma.
Penilaian tersebut merupakan refleksi
ilmiah tentang tingkah laku manusia dari sudut norma atau sudut baik dan
buruk. Etika normatif membicarakan apa yang seharusnya dikerjakan, apa
yang seharusnya terjadi atau apa yang memung-kinkan seseorang melakukan
hal yang bertentangan dengan seharusnya.
Etika normatif mengemukakan penilaian
tentang perilaku manusia dan menilai perilaku terse-but sesuai dengan
norma tertentu. Etika normatif tidak sekedar melukiskan suatu tingkah
laku tetapi menentukan benar tidaknya tingkah laku seseorang. Etika
normatif tidak deskriptif, tetapi bersifat preskriptif (memerintahkan).
Dalam etika normatif, etika Jawa yang
digambarkan dalam uraian di atas diberikan peni-laian. Acara balang
sirih mengharuskan kedua mempelai yang berkehendak untuk bersatu dalam
cinta hendaknya saling membuka hati dan diri mereka agar keduanya saling
terbuka, semakin mencintai atau belajar saling mencintai satu sama
lain.
Mereka melempar sirih dengan kehendak
sendiri tidak dipaksa oleh siapa pun untuk bersatu dalam cinta. Oleh
karena itu mereka harus berani menerima persamaan dan perbedaan dengan
penuh kesadaran. Orang tua atau pun pihak lain mana pun tidak dapat
dipersalahkan jika sewaktu-waktu diantara keduanya timbul
ketidakcocokkan, walau-pun orang tua akan selalu siap mengiringi
perja-lanan rumah tangga keduanya. Hal ini dilambangkan dengan sampiran
kain selendang yang mengiringi kedua mempelai mengikuti prosesi
selanjutnya.
Perkawinan dalam adat Jawa tidak
meng-hilangkan pertalian antara orang tua dengan anak-anaknya. Orang tua
tidak akan melepaskan tanggung jawab terhadap anak-anaknya yang sudah
menikah. Anaknya yang sudah menikah tetap diberikan pen-dampingan untuk
menapaki kehidupan berumah tangga. Pendampingan yang dilakukan orang tua
bersifat membimbing dan tidak mencampuri urusan yang masuk dalam
wilayah pribadi. Orang tua dinilai baik jika melakukan peran yang
demikian, sebaliknya jika orang tua tidak melakukannya akan dipandang
tidak etis oleh masyarakat.
Prosesi menginjak telur melambangkan
bahwa perkawinan yang berlangsung akan meng-hasilkan keturunan. Sebuah
keluarga akan lengkap jika di dalamnya hadir keturunan-keturunan hasil
pernikahan kedua mempelai. Kehadiran putra-putri dalam sebuah keluarga
ibarat sebuah pelita yang memberikan sina kebahagiaan dalam kehidupan
berumah tangga. Rumah tangga yang tidak dihiasi oleh keturunan dipandang
sebagai keluarga yang belum sukses dalam mengisi bahtera keluarga.
Kehadiran putra-putri dalam sebuah
perka-winan harus direncanakan dengan baik dan setelah hadir di
tengah-tengah keluarga juga harus dirawat dengan sebaik-baiknya.
Keluarga yang mampu mengurus putra-putri mereka dengan baik akan
dipandang sebagai keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Kedua mempelai wajib secara mandiri
mengatur kehidupan rumah tangga masing-masing dan tidak bergantung
kepada pihak lain, termasuk kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tua
hanya melakukan pendampingan, tidak boleh larut dengan mencampuri
persoalan keluarga kedua mempelai.
Kemandirian kedua mempelai diwujudkan
dalam bentuk kewajiban sang suami melindungi istri, mencari nafkah dan
menyerahkannya kepada sang istri. Sang istri pun wajib menerima dan
mengolah apa pun yang diberikan oleh sang suami. Keluarga yang tidak
menjalankan peran seperti itu akan dinilai tidak baik oleh masyarakat.
Pada situasi tertentu, seorang suami
mung-kin tidak mampu memberikan nafkah kepada sang istri. Pada situasi
inilah sang istri akan berjuang membantu suami mencari nafkah, bahkan
tidak jarang menggantikan posisi sang suami sebagai pencari nafkah
keluarga. Peran seorang perempuan dalam keluarga Jawa umumnya
menggunakan pola hidup seperti ini dan dianggap sebagai sesuatu yang
etis.
Dalam kehidupan berumah tangga, suami
dan istri harus bekerja sama dengan saling memberi dan saling menerima.
Proses memberi dan mene-rima bukan hanya berbentuk lahiriah seperti
men-cari nafkah, namun juga bersifat batiniah.
Sang suami yang hanya mementingkan diri
sendiri atau sang istri yang tidak memperdulikan keperluan suami
dipandang kurang elok oleh masyarakat, disamping menimbulkan berbagai
persoalan diantara keduanya. Kebersamaan yang ditunjukkan oleh sepasang
suami istri akan menja-dikan keduanya mampu menghadapi berbagai
per-soalan hidup baik suka maupun duka dalam bahtera rumah tangga. Etika
deskriptif memberikan gambaran mengenai berbagai ajaran, doktrin, teori
dan prinsip moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menilai
baik atau buruk tindakan seseorang. Ajaran, doktrin, teori atau prinsip
moral merupakan aspek-aspek yang dipelajari dalam etika umum. Oleh
karenanya, etika umum ”lebih” bersifat deskriptif.
Etika normatif merupakan norma-norma
yang menuntun manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal
yang buruk sesuai dengan kaidah yang berlaku di masyarakat. Etika
normatif melakukan penilaian terhadap tingkah laku manusia secara
individual ataupun kelompok (sosial). Seba-gai individu, manusia terikat
oleh kewajiban dan berupaya mencapai akhlak yang luhur atau menjadi
orang yang bajik. Sebagai anggota kelompok, manusia berkaitan dengan
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, berinteraksi dengan individu
lain atau kelompok baik formal ataupun non formal.
Etika khusus berkaitan dengan etika
indivi-dual dan etika sosial. Etika individual berbicara tentang
perilaku manusia terhadap dirinya sendiri untuk mencapai ahlak yang
luhur. Etika sosial ber-bicara mengenai kewajiban, sikap dan perilaku
sebagai anggota masyarakat yang mempunyai nilai-nilai tertentu seperti
saling berinteraksi, saling menghormati, dan sebagainya. Etika sosial
melahir-kan berbagai ragam etika seperti etika keluarga, etika bisnis,
etika profesi dan sebagainya. Etika khusus, termasuk di dalamnya adalah
etika sosial dan etika individual ”lebih” bersifat normatif. Etika
profesi yang merupakan bagian dari etika sosial juga ”lebih” bersifat
normatif.
Etika merupakan ilmu yang menetapkan
ukuran atau kaidah yang mendasari pemberian tang-gapan atau penilaian
terhadap perbuatan manusia. Kaidah atau norma adalah nilai yang mengatur
dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau
masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan peraturan yang telah
disepakati.
Kaidah atau norma biasanya berisi
tentang perintah yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat
sesuatu karena akibatnya dipandang baik, Kaidah atau norma juga biasanya
berisi tentang larangan yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk
tidak berbuat sesuatu karena akibatnya dipandang tidak baik.
Kaidah atau norma-norma tersebut
umum-nya berbentuk norma agama, susila, kesopanan dan norma hukum.
Norma-norma tersebut menghasilkan etika agama, moral, etiket, kode etik
dan seba-gainya. Etika agama atau moral terwujud dalam predikat moral
baik dan buruk, etiket terwujud dalam bentuk sopan santun, sedangkan
norma hukum yang berbentuk kode etik berbentuk tata tertib yang
memelihara perilaku profesional
Etika profesi adalah perilaku yang
dianjur-kan secara tepat dalam bertindak sesuai dengan nilai-nilai
moral yang pada umumnya diterima oleh masyarakat. Etika profesi
dihasilkan dari penerapan pemikiran etis yang berkaitan dengan perilaku
profesi tertentu. Profesi manajer misalnya, seharus-nya mempunyai etika
yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai seorang pemimpin. Etika
kepemimpinan yang seharusnya dicapai oleh seo-rang manajer adalah etika
kepemimpinan yang memberdayakan.
Andi Kirana dalam bukunya yang berjudul
Etika Manajemen menyatakan bahwa kepemimpi-nan yang memberdayakan adalah
menghormati orang lain, menghargai kekuatan dan kontribusi mereka yang
berbeda, menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka dan jujur,
bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan yang lain, menga-lami nilai
pertumbuhan dan perkembangan pribadi.
Menghormati orang lai, teruma orang yang
menjadi bawahan tidak akan membuat kehormatan pemimpin menjadi
berkurang. Pemimpin yang menghormati para bawahannya justru akan
menumbuhkan rasa hormat orang lain, sehingga makin besar pengaruh yang
dimilikinya terhadap orang lain.
Usaha atau kontribusi yang diberikan
oleh bawahan hendaknya dihargai secara wajar, terlepas dari segala
kekurangan dan kelebihannya. Pemim-pin hendaknya menyadari hakekat
manusia yang berbeda-beda dalam kemampuannya.
Komunikasi, sebagai salah satu elemen
penting dalam kepemimpinan hendaknya dikem-bangkan untuk mewujudkan
etika kepemimpinan yang memberdayakan. Dengan komunikasi yang terbuka
dan jujur, pengaruh seorang pemimpin terhadap bawahan yang dipimpinnnya
akan lebih efektif.
Etika kepemimpinan yang memberdayakan
juga mementingkan kepuasan pelanggan, berusaha memenuhi kebutuhan
pelanggan, mempunyai kesadaran akan adanya perbaikan sebagai suatu
proses yang tetap sehingga setiap orang harus ikut ambil bagian secara
aktif. Kepuasan pelanggan dapat terwujud apabila kebutuhan yang
diharapkan dapat terpenuhi.
Pelanggan adalah pihak yang terkena
dampak langsung maupun tidak langsung dari produk atau proses. Pemimpin
banyak melakukan interaksi dengan berbagai pelanggan, baik pelang-gan
internal maupun eksternal. Bawahan merupakan pelanggan internal
pemimpinnya, sebagaimana pemimpin juga adalah pelanggan internal para
bawahan.
Sebagai anak buah, bawahan mempunyai
berbagai kebutuhan baik yang kebutuhan fisik maupun lebih dari sekedar
kebutuhan yang bersifat fisiologis. Semua kebutuhan tersebut, baik
kebu-tuhan fisiologis (physiologis needs), kemanan (safety needs),
sosial (social needs), harga diri (esteem needs) ataupun aktualisasi
diri (self actualization needs) akan memberikan kepuasan bila terpenuhi
sesuai tingkatannya.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, seorang pemimpin hendaknya dapat
menggunakan teknik kepemimpinan yang sesuai. Salah satu teknik
kepe-mimpinan yang dipandang efektif untuk memuaskan tujuan tersebut
adalah kepemimpinan transfor-masional.
Pemimpin transformasional adalah seorang
yang memiliki kekuatan untuk mendatangkan peru-bahan di dalam diri para
anggota tim dan di dalam organisasi secara keseluruhan Kepemimpinan ini
sangat di perlukan untuk meningkatkan kinerja seseorang, kelompok, dan
organisasi secara drastis.
Ciri –ciri kepemimpinan ini adalah:
- Kharisma: Seseorang yang memiliki visi yang jelas untuk organisasi
dan mudah mengkomuni-kasikan visi tersebut kepada anggota tim .
- Keyakinan: Mempunyai naluri bisnis yang baik dan mampu melihat
keputusan apa yang berpe-ngaruh positif terhadap organisasi, serta
mem-bangkitkan kepercayaan diantara para anggota tim .
- Rasa hormat dan pengabdian : Dapat membang-kitkan rasa hormat dan
pengabdian dalam diri tiap-tiap orang dengan menyediakan waktu untuk
menyatakan mereka penting.
- Pujian terbuka: Memberikanpujian terhadap orang–orang yang
menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan menyatakan betapa besar
kon-tribusi mereka terhadap kesuksesan organisasi.
- Inspirasi: Membantu orang-orang yang ragu dalam melakukan sesuatu pekerjaan.
Dapat disimpulkan bahwa:
- Etika mempunyai berbagai pengertian yang membuat seseorang berbeda
pendapat dan mela-hirkan adanya etika deskriptif dan etika nor-matif.
- Etika deskriptif bersifat menggambarkan ting-kah laku manusia apa
adanya. Etika Jawa yang diritualkan dalam acara panggih tergambar
norma-norma yang dianut oleh masyarakat Jawa, khususnya dalam menapaki
bahtera rumah tangga.
- Etika normatif menilai tingkah laku masyarakat dberdasarkan
norma-norma tertentu. Etika nor-matif mengharuskan masyarakat bertingkah
laku tertentu atau seharusnya agar dinilai etis atau baik.
- Etika sering disistematiskan menjadi etika umum dan etika khusus.
Etika umum mela-hirkan ajaran, doktrin atau teori, sedangkan etika
khusus melahirkan etika individual dan etika sosial.
- Etika umum ”lebih” bersifat deskriptif, sedang-kan etika khusus
”lebih” bersifat normatif. Sifat deskriptif etika umum terlihat dari
paparan filo-sof tertentu pada ajaran, doktrin atau teorinya. Sifat
normatif etika khusus terlihat, misalnya pada etika profesi.
- Etika menetapkan kaidah atau norma yang berisi keharusan-keharusan
untuk tidak berbuat sesuatu. Norma terseut menghasilkan etika agama,
moral, etiket, kode etik dan sebagainya.
- Profesi manajer seharusnya mempunyai etika yang berkaitan dengan
kedudukannya sebagai seorang pemimpin. Etika kepemimpinan yang
seharusnya dicapai oleh seorang manajer adalah etika kepemimpinan yang
memberdayakan.
Daftar Pustaka
Bertens, K., ”Etika”, PT Gramedia Utama, Jakarta, 2001.
Kasmir, ”Etika Customer Service, PT Radja Grafindo, Jakarta, 2005.
Kattsoff, Louis O., ”Pengantar Filsafat”, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996.
Kirana, Andi, ”Etika Manajemen”, Penerbit Andi, Yogyakarta, 1997.
Poedjawiyatna, IR., ”Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat”, PT. Pembangunan, Jakarta, 1983.
Ruslan, Rosadi, ”Etika Kehumasan”, Radja Grafindo, Jakarta, 2001.
Suriasumantri, Jujun S., ”Ilmu Dalam Persfektif”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.
www.id.wikipedia.org/wiki/Etika
www.nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika
www.kejawen.suaramerdeka.com/index.php?id